Powered By Blogger
Jangan lupa tinggalkan pesan anda dan komentar anda setiap kali berkunjung ke halaman ini ya.....

Tuesday, May 01, 2007

sesuatu dibalik drama televisi

sesuatu dibalik drama televisi yang membuat batinku merasa harus mengisi halaman-halaman ini kembali...
ini sesuatu tentang yang berjudul ROMAN PICISAN
diperankan oleh EVAN SANDERS dan NIKITA WILLY...
ah....
aku ingin marah!!!
tapi pada siapa?
untuk apa?
lalu?

coba baca tulisan yang pernah aku buat ini....


Aku sudah bosan, aku bosan dengan apa yang selalu aku lakukan sendiri, dengan mama yang sibuk di London, papa yang jarang pulang dari New York, dan aku? Aku anak tunggal dengan rumah yang seperti istana, dan hidup layaknya putri. Teman-teman di sekolah? Tidak, jangan pernah tanyakan tentang teman-temanku, aku gak akan pernah serius menanggapi mereka sebagai teman, manusia-manusia itu… mereka hanya mau memanfaatkan kekayaan orang tuaku, kepintaranku, atau juga kecantikanku. Dan sampai hari ini, aku masih tidak tahu, apa yang seharusnya aku lakukan, sampai dia datang… dia.

Namanya Seta, dia bukan saudaraku, sepupu, keponakan, atau apapun itu yang masih berhubungan darah denganku, tapi dia benar-benar mempesonaku. Dia supir baruku, namanya Arya Seta. Waktu itu mau ku panggil Arya, biar lebih keren, tapi dia tidak mau dia suka dengan namanya, Seta. Usianya dua puluhan, dan papa memintanya menjadi supir pribadiku karena ulang tahun yang kemarin papa menghadiahkan sebuah Baleno untukku, warna hitam metalik. Dan dengan Seta sebagai driver-nya jadi lengkap sudah, mobil keren dengan supir keren.

Awalnya aku gak percaya kalau dia jadi supir karena butuh uang, karena sebenarnya dia bukan orang baru di kantor papa, sudah terlalu lama dia tidak bisa naik jabatan katanya. Mmm… di kantor papa dia bagian dapur dan akhirnya dia menawarkan diri untuk menjadi pembantu di rumah pada papa, tapi papa malah memberinya pekerjaan menjadi supir pribadiku. Ah… terlalu lama, bertele-tele.

Begini ceritanya, siang itu, bulan kedua Seta menjadi supirku…

“Seta, nanti pulang sekolah, aku janjian sama Della mau ke Gramedia, jadi jangan telat, ya.” Aku mengatakannya setelah ia menghentikan mobilnya tak jauh dari gerbang sekolahku.

“Ya, mbak, saya juga jarang-jarang telat jemput mbak.” Candanya padaku.

“Hmmm… iya ya? Ya udah.” Dan aku meninggalkan mobilku.

Della, dia pe-ngeceng sejati, aku gak tahu berapa banyak gebetannya, berapa kali dia sudah pacaran, berapa banyak pula pacarnya hari ini. Dia seleb sekolah, Della jalan denganku baru satu minggu waktu hari itu, tapi ya… yang namanya teman untukku itu hanya untuk keluar, jalan, shopping, dan paling puol… adalah nonton. Siangnya ketika bel pulang berbunyi Seta sudah ada di depan sekolah, dia sedang bersandar pada dinding mobil dan menatap kearah gerbang, menungguku.

“Hai, Seta dah lama nunggu?”

“Belum, sepuluh menit.” Dia melirik jam di tangan kirinya.

“Siapa, Ning?” Della berbisik di telingaku.

“Oh, ya, Seta, ini Della. Del, ini Seta.” Mereka bersalaman.

“Mas, cakep, deh. Pacarnya Ning?” Satu kalimat yang tak sempat aku perkirakan, dan itu membuat Seta membungkam mulutnya sendiri.

“Bu…bukan…” Dia tertawa, dan kemudian membukakan pintu mobil untukku, dan setelah Della dan aku masuk, dia menuju belakang kemudi.

“Sorry, Del, dia bukan pacarku, dia supir baru papaku.” Bisikku pada Della dan membuatnya melotot kaget.

“Mas, beneran mas supir?” Tanyanya tak percaya, ketika Seta memutar setirnya. Dan dia hanya mengangguk sambil menahan tawa.

Lagu itu nyaring dari sound di dalam mobilku, Bintang by Air. Dan kami menuju mall terbesar di kota ini, aku mau belanja, especially books.

Pulangnya setelah mengantar Della, aku duduk di depan, di sebelah Seta, tampaknya dia sedikit tidak nyaman aku duduk di sebelahnya. Karena selama dua bulan aku selalu duduk di belakang.

“Seta, kenapa?”

“Mbak kenapa gak duduk di belakang?”

“Gak suka saya temani?” Tanyaku memastikan.

“Gak pa pa, tapi tumben saja.”

“Aku pingin cerita sama kamu, tapi janji jangan cerita pada siapapun di rumah atau di manapun.” Jelasku, dia mengangguk setuju.

“Menurut kamu Della itu cantik gak?”

“Cantik, kenapa Mbak?”

“Di sekolahku banyak yang secantik Della atau malah lebih cantik. Mereka semua suka sekali dengan barang mewah, termasuk Della, tapi sebenarnya ketika aku bersama mereka, jujur saja… aku bosan.”

“Bosan kenapa, Mbak?”

“Seta, kamu pernah gak punya jam tangan harga dua atau tiga juta?” Aku bertanya padanya, dan tentu saja dia menggeleng, dia hanya supir, bukan papaku.

“Buat mereka itu biasa, dan aku bosan terus-terusan hanya dipedulikan dengan uang.” Dan aku menghela nafasku lelah.

“Jadi, Mbak mikirnya orang tua Mbak hanya mempedulikan Mbak dengan uang saja.” Dia menebaknya dengan tepat.

“Mungkin, gak boleh ya…, tapi aku ingin merubah gaya hidupku ini, kamu ada saran gak, Ta?” Dan aku menatapnya penuh harap.

“Mbak minta saran saya?” Dia menatap, jauh dalam mataku, menembus hatiku.

“Aku pikir kamu lebih dewasa daripada aku, dan kamu pasti punya solusi yang baik untuk aku jalani.” Dan aku melepaskan tatapan itu.

Pembicaraan kami terhenti, karena kami sudah sampai di gerbang rumahku. Dan aku meninggalkan Seta, tanpa kata-kata lagi. Aku harap dia punya jawaban dari keinginanku itu, kalau pun mama dan papa tidak mengizinkanku untuk berubah, aku akan bersujud di kaki mereka agar mengizinkanku berubah, karena satu bulan setelah hari itu Seta benar-benar merubahku.

Sebuah kehidupan yang baru. Seta tak lagi menjemputku dengan Baleno, aku berangkat dengan Baleno dan pulang naik angkot, berdua dengan Seta tentunya. Week end ku bukan ke mall atau nonton, Seta mengajakku ke perpustakaan umum kota, dan kami menghabiskan banyak buku untuk dibaca di sana, dan pulang ketika matahari sudah turun. Jadwal shoppingku setiap hari jum’at dihapus, aku menambah jadwal les pianoku dan bahasa jepang. Gak ada lagi Indovision 24 jam, yang ada hanyalah tambahan kelas baletku, selainnya itu, menu makanku juga berubah. Hidangan yang biasanya selalu lengkap, sejak hari itu jadi seadanya, secukupnya, dan tak lagi berlebih satu butir nasi pun. Semuanya berubah.

Awalnya memang sangat sulit, tiga hari setelah pulang naik angkot aku kena flu, polusi membuatku terkontaminasi. Saat kali pertama ke perpustakaan umum kota, aku sangat heran, sebab bangunan yang dulu selalu aku kira kantor Pemda itu tenyata adalah istana buku. Shopping, Della sempat heran, karena sebelumnya kami sudah buat janji untuk hunting baju baru saat week end berikutnya, tiba-tiba aku membatalkannya. Della sempat berbisik padaku saat itu…

“Kamu pacaran sama Seta, ya?” Dan Della benar-benar membuatku panas. Dia berteriak pada seisi kelas, mengumumkan kalau aku pacaran dengan supirku. Aku menyerah padanya.

Dan guru les pianoku sangat heran ketika kuminta jam tambahan, tapi hasilnya? Aku dapat tawaran untuk membuat konser perdanaku. Ballet, hal yang aku tekuni sejak usiaku enam tahun itu… Mother Ter menawarkanku untuk ikut audisi sekolah balet di New York, dengan begitu aku bisa tinggal dengan papa, tanpa harus kesepian di rumah, atau merasa bosan karena tak punya teman bicara. Dan setelah semua itu berjalan selama enam minggu, papa dan mama pulang.

“Kamu yakin mau pindah ke New York?” Tanya mama tak percaya.

“Audisinya dua bulan lagi, dan dalam dua bulan ke depan Ning sudah akan menyelesaikan tahun ajaran ini, Ma.”

“Mama, dan papa tidak akan keberatan, kamu mau di London atau di New York bersama papa, itu bukan masalah. Tapi apa kamu benar-benar tidak apa-apa meninggalkan sekolah dan teman-temanmu?” Mama menatapku ragu.

“Teman Ma, teman yang mana?” Aku tak mengerti, mereka tak pernah kenal siapa temanku, mereka tak pernah tahu itu.

“Mama pikir gak mungkin kalau kamu gak punya teman, Sayang. Pasti ada, ini adalah rumah kita, di sini tanah airmu, pikirkan lagi.”

“Paspor dan visamu bisa diurus segera kalau kamu tekadmu sudah bulat.” Papa menimpali.

“Tak ada yang melarangmu untuk pergi, Sayang. Gak akan ada yang berubah.” Papa menatapku berbeda, dan beliau memindahkan tubuhnya kedekatku dan kemudian merangkulku dalam dekapannya.

Berubah, sudah terlalu banyak aku berubah, selama satu bulan ini, dan segalanya membuatku tak lagi bosan. Tak ada keglamouran, tak ada foya-foya, tak lagi pemborosan, dan… tak ada lagi kata kesepian, karena aku selalu berada di tengah keramaian. Besok adalah konser perdanaku, dan malam ini aku tak bisa tidur nyenyak setelah apa yang dikatakan mama tadi….

“Mama, dan papa tidak akan keberatan, kamu mau di London atau di New York bersama papa, itu bukan masalah. Tapi apa kamu benar-benar tidak apa-apa meninggalkan sekolah dan teman-temanmu?”

Hanya karena kalimat itu, aku kembali meninggalkan kasurku yang tetap nyaman dan hangat waktu malam, dan aku menuruni satu-satu anak tangga, kulangkahkan kakiku menuju piano besarku di ruang tengah, dan kurasakan sepi itu lagi, karena saat malam datang, memang hanya sunyi yang hadir di rumah sebesar istana ini. Dan satu-satu aku mulai menggerakkan jemariku di atas tuts putih dan hitam pianoku. Dan satu lagu yang akan kumainkan besok, A Comme Amour by Richard Clayderman. Tak terasa air mataku basahi pipiku, dan saat nada terakhir di ujung jariku, satu suara mengejutkanku.

“Mainkan lagi.” Seta, aku sangat terkejut melihatnya.

“Kenapa berhenti? Mainkan lagi, yang terakhir, untukku.”

“Terakhir?”

“Besok aku berhenti, besok setelah kamu putuskan untuk pindah ke New York dan mengikuti audisi sekolah ballet itu.” Dia menatapku dalam kegelapan itu.

“Berhenti? Sudah cukupkah tabunganmu, dan gak perlu pekerjaan sebagai supir lagi?” Aku menanyakannya.

“Aku harus berhenti karena tak ada lagi orang yang harus aku antar dan aku jemput setiap harinya, dan aku gak mau kalau harus tetap di sini, tanpa kamu.” Ia berbalik dan melangkah, tapi aku masih saja sulit mencerna kalimatnya itu, aku bingung.

Dan aku tetap pada pilihanku, saat konser itu Seta tidak ada di bangku yang memang aku sediakan untuknya, dan saat aku mengurus visa dan paspor. Hari itu juga dia mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai supir pribadiku, dan malamnya aku meninggalkan tanah airku, aku menginginkan audisi itu.

New York, satu tahun kemudian.

“Pa, hari ini summer vacation, aku pulang ke Indonesia, ya.” Kuhubungi papa lewat ponsel-ku, tak ada kata lain selain boleh tentunya.

Dan dua puluh jam berikutnya, aku sudah berada di dalam istanaku. Rumah yang penuh kenangan di setiap sudut ruangannya, dan entah kenapa aku jadi tertawa dalam hati, dan tak terasa air mataku sudah menetes satu-satu basahai pipiku, ingin aku seka tapi kemudian kuurungkan, karena sebuah kejutan.

Welcome home Aning!” Sebuah penyambutan meriah di tepi kolam renang.

Semua pelayan, pembantu dan yang bekerja di rumahku berkumpul, walaupun tak ada mama dan papa, tapi ada sebuah kerinduan di sana, hadir dan mengejutkan.

“Neng udah gede’ ya, gimana kabar bapak ibu Neng?” Mereka bertanya satu-satu, hingga tak kusadari sebuah aluan melodi dari piano di ruang tengah hadir menyentuh hatiku. A Comme Amour.

Segera kulangkahkan kakiku, dan seketika terhenti, ada Seta di sana.

“Aku terima suratmu hari itu, dan aku kembali ke sini untuk menunggumu pulang.” Dan ia menghentikan permainannya.

Sesaat kami sama-sama lama menatap, dia sudah banyak berubah.

“Kamu, pulang untukku kan?” Ia melanjutkan kalimatnya, di hadapanku.

“Memenuhi janjiku untuk kembali.” Dan ia memelukku hangat.

Hari itu kutinggalkan pesan di atas pianoku, untuknya…

Seta, izinkan aku pergi, demi suatu perubahan yang aku inginkan. Kelak jika sang waktu menjawab perubahan yang kuinginkan itu, aku akan kembali ke rumah ini, dan aku harap kamu menungguku.

Aningtyas Wulandari.

I wroete this at home, Jum’at Agustus 2004

aku merasakan sesak yang luar biasa ketika memastikan ide dasar tulisanku punya level komersil yang ....

ah....

apa tidak bisa, kalau tidak merusak pribadi manusia bangsa ini lagi?????

aku lelah menonton yang berbau komersil dengan sisi pembangunan karakter yang minim. dan tidak kulanjutkan menonton ROMAN PICISAN....

maaf...

-phy-


No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan dan komentar anda disini