Powered By Blogger
Jangan lupa tinggalkan pesan anda dan komentar anda setiap kali berkunjung ke halaman ini ya.....

Sunday, March 13, 2005

Cerpen kedewasaan

Bukan Sebatas Cinta
Memutar langit
Membalikkannya jadi bumi
Menukar kehidupan dengan kematian
Tak ada yang bisa jadi jaminan
Segala yang tidak menyenangkan
Bisa jadi menyenangkan
Yang menyenangkan bisa jadi lebih menyenangkan…
Itu yang ditulis Shinta di pembukaan e-mailnya hari itu, dan aku hanya bisa menangis menyesal, karena semuanya telah terjadi. Segala yang seharusnya tidak seharusnya terjadi, kalau aku mau berfikir sehat tentang semua yang dituliskan Shinta dalam setiap e-mailnya. Karena aku terlalu bodoh, merasa bahwa diriku sudah dewasa, sudah bisa menentukan masa depanku dengan orang yang mencintaiku, dan melepaskan diri dari kehidupan orang-orang yang sok mengaturku. Dan ternyata satu kesalahan tak terelakkan, dan aku hamil.
Aku tak berani mengatakannya pada mama atau papa, jelas mereka akan langsung membunuhku kalau mereka tahu aku sudah melakukan satu hal yang diluar akal sehat, padahal ujian sudah dekat. Jadinya aku bohong, aku menutupinya hampir selama lima bulan, dan aku memang lulus dengan selamat, tapi tidak saat aku akan melahirkan. Aku semakin down dan tak punya penyemangat, sampai aku ingat kembali Shinta, dia adalah sahabat yang tersiakan olehku. Dan itulah e-mail jawabannya, aku mencoba mencernanya.
“Sedang apa sayang?” Dia memelukku hangat, sambil membelai perutku.
“Baca e-mail, dari Shinta.” Jawabku dan masih saja kubiarkan dia memelukku.
“Dia cerita apa?” Dan sekarang dia duduk disebelahku, ikut membaca e-mail itu.
“Gak usah sedih, nanti setelah anak kita lahir, kamu boleh melakukan apa saja yang kamu suka.” Dan itu memang janjinya.
“Gimana kalau aku kuliah di Malaysia aja?” Kali ini aku menatapnya penuh tanya.
“Jangan jauh-jauh, dong. Masa anak kita ditinggal sendiri?” Dia tersenyum tanpa dosa.
Tuhan… ini memang salahku, dan aku tak akan lari dari takdirku. Dan aku menyandarkan kepalaku di pundaknya, menikmati waktu terakhirku sebelum aku harus mempertaruhkan separuh nyawaku demi janin yang ada dalam rahimku ini.
Malamnya aku membalas e-mail dari Shinta, dan paginya aku sudah dapat balasan lagi.
Diantara puing-puing kehampaan
Yakinlah pada jiwamu yang masih ingin berdiri
Karena dengan begitu…
Kau akan dapat bangkit dan berbuat
Untuk masa depan dirimu dan semua…
Aku memang semakin takut, aku takut tak diberi kesempatan untuk membesarkan janinku ini, aku takut, kalau ternyata setelah janin ini terlahir dia meninggalkanku dan membatalkan semua rencana yang sudah kuimpikan. Aku masih punya segudang ketakutan yang membuatku semakin kosong-kosong dan kosong, hingga aku tak tahu harus pada siapa lagi aku bersandar. Dan Shinta mengingatkanku pada kuasa Tuhan, hanya Dia yang berhak mengatur bagaimana masa depan akan jadi milik kita. Kita hanya boleh berencana dan harus berusaha, tapi hasil akhir itu hak-Nya lah untuk menentukan. Dan karena ini kesalahanku juga, maka aku harus siap menanggung segala resikonya.
Malam ini aku menelfon mama dan papa, aku memang anak perantauan, dengan segala ide gilaku aku menjalani tahun-tahun terakhir masa SMU ku yang mungkin memang diluar akal sehat. Perkiraan kelahiran bayiku dalam minggu ini, dan sebenarnya aku tak mau sendirian di ruang bersalin nanti walau mama baru tahu tapi dengan rela mama memenuhi permintaanku dan mama berjanji akan datang besok, dan papa mempersiapkan segala sesuatu untuk urusan pernikahanku. Sebenarnya mereka sudah tahu sejak hari wisudaku, tapi aku memberi tahu mereka setelah mereka pulang. Dan mungkin memang tak ada maaf untukku, tapi aku sudah berjanji pada diriku kalau kesalahan ini tak akan terjadi pada anakku. Dan malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak, sendiri.
Pagi ini aku kembali memeriksa inbox e-mailku, ada satu e-mail disana, dari Shinta.
Keinginan untuk bangun dalam kesakitan
Seperti usaha hidup teratai tanpa air
Tapi tak sesulit itu jika semua dilakukan
Tak sendiri…
Dear sahabatku yang akan segera jadi bunda, aku punya beberapa nama untuk bakal keponakanku, silahkan dipilih. Walaupun aku rasa kamu sudah mempersiapkan nama untuk cinta pertamamu itu. Gak ada salahnyakan memberikan yang terbaik untuk cintamu itu. Dan salamku juga untuk sang calon ayah, selamat berjuang sahabatku. Doaku selalu untukmu.
Dan dua hari kemudian… siang yang tak begitu melelahkan, hanya beberapa jam setelah mama dan papa datang, aku merasakan mulas dan mama segera mengeluarkan mobilku dari garasi. Saat yang sama kulihat seseorang tersenyum padaku dibalik kaca mobil. Shinta!
“Sabar ya, coba tarik nafas pelan-pelan. Tante biar saya saja yang setir.” Dan dia beranjak kebelakang kemudi.
Entah dimana dia saat ini, aku bahkan tak berminat meraih hp-ku, aku hanya ingin semua berjalan baik-baik saja. Mama ada didekatku, dan Shinta dengan segera mengantarkanku ke rumah bersalin yang sudah aku pesan, dan mereka segera menanganiku.
“Baru bukaan empat, kalau cepat mungkin bisa lahir sore ini, tapi kalau tidak nanti malam.” Dan perawat itu meninggalkanku berdua dengan Shinta.
“Kok, tiba-tiba datang?” Tanyaku padanya.
“Gak tega, sorry, ya…” Shinta menatapku penuh pinta.
“Gak pa pa, makasih banyak. Tapi kamu ambil penerbangan kapan?” Aku masih penasaran.
“Tadi malam, langsung yang ke Singapore, dan tadi pagi sudah sampai aku mampir ke rumah tante nitip tas aja, terus langsung kerumahmu.” Ceritanya.
“Aku ngrepotin kamu, nih.”
“Kan aku yang mau datang, kenapa juga ngrepotin?” Saat itu kulihat ia dipintu ruangan.
“Sayang, sorry… kuliahku penuh.” Dan ia tampak shock ketika melihat Shinta.
“Shinta?” Ia seakan tak percaya kalau Shinta datang untukku. Tapi kemudian dia meninggalkan kami lagi berdua.
“Shin, ini kemungkinan terburuk, kalau aku tak bisa membesarkan anak ini, kamu mau membawanya bersamamu?” Entah darimana ide itu terlintas diotakku.
“Kamu pasti akan membesarkannya, kamu juga sudah janji mau menyusulku kan? Jangan pesimis.” Dan dia tersenyum padaku.
“Aku akan minta izin mama supaya kalau anak ini sudah memasuki usia sekolah, biar dia ikut denganmu, biar dia tidak mengalami hal yang sama sepertiku.” Dan Shinta mengangguk untukku.
Malam itu bayiku lahir, aku sempat melihatnya, pangeran yang tampan, tapi dia masih merah, dan dia tertidur lelap dalam pelukanku. Dan yang kusadari adalah dua hari kemudian aku belum boleh pulang, aku dibawa ke rumah sakit yang lain, kali ini aku di infus kanan-kiri, dan kurasa tubuhku semakin lemah. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi dalam tubuhku, yang kulihat hanyalah Shinta yang sedang bersimpuh dan menangis berdoa, kudengar lirih suaranya.
“Tuhan, kalau memang Kau hadiahkan usia yang sampai disini untuk Lisa, biarkan dia kembali pada Mu tanpa derita, tapi jika Kau ingin berikan kesempatan lagi untuk Lisa, hentikan dera itu Tuhan.” Dan airmata Shinta jatuh basahi pipinya yang memerah.
Kekasihku, dimana dia? Oh… ya, dia tak mungkin ada ditempat yang sama dengan Shinta, aku menemukannya dikoridor ruang tunggu, diam tertunduk dan membisu. Saat itu kulihat seorang perawat menemuinya, dan mengantarnya keruang dokter, aku disana, aku mendengarkannya.
“Rahimnya tidak cukup kuat, walaupun selama kehamilan baik-baik saja, tapi tidak akan baik untuk kelanjutannya. Kemungkinan dia akan lumpuh total kalau masih bisa bertahan atau kami tak bisa banyak berjanji kalau kondisinya semakin memburuk.” Dan dia tertunduk membisu.
Tak lama setelah aku beranjak dari ruangan itu, aku melihat seseorang menghampiriku, seseorang dengan sinaran putih diseluruh tubuhnya. Lalu aku bertanya padanya, apakah dia datang untuk menjemputku, dia hanya tersenyum. Dan kurasa jiwaku beranjak menjauh dari tubuhku, dan mesin deteksi jantung itu berbunyi kencang. Dokter itu segera beranjak keruang rawatku, beberapa alat dipasangkan ketubuhku, aku dikejutkan dengan listrik, dan kulihat Shinta sedang berjalan kearah ruanganku, mama sedang memeluk cintaku, dan papa tampak tegang didepan ruangan tempatku terbaring. Seakan semua menjauh dariku dan kali terakhir kulihat. Aku pergi.
Lima tahun kemudian.
“Ini adalah catatan yang ditulis sahabat saya, saya rasa para remaja perlu tahu bahwa kehidupan dengan gaya hidup bebas tidak akan memberikan hasil akhir yang baik. Karena itu saya sangat ingin membantu para orang tua untuk menjadikan putra-putrinya menjadi generasi penerus bangsa yang sehat dan berfikiran kritis.”
“Ditulis berdasarkan kisah nyata, dengan nama tokoh yang disamarkan, tapi saya harap ilmunya bisa bermanfaat, saya Devina Shinta Zakiyah.”
Siang yang teduh dan terasa gerah kulangkahkan kakiku menuju makam itu, digandenganku pangeran kecil itu tampak tenang. Dan saat aku bersimpuh dimakam itu dia ikut bersimpuh disebelahku.
“Lisa, ini pangeranmu datang. Besok kami akan berangkat ke Malaysia, mungkin satu tahun lagi baru kami pulang, pamit ya… Deva, pamit sama bunda, dong.” Pintaku pada pangeran itu.
“Bunda, Deva janji akan terus berdoa untuk bunda, Deva janji akan patuh pada Bunda Shinta, kalau Deva pulang Deva pasti jenguk bunda.” Dan pangeran itu menaburkan segenggam bunga yang sedaritadi dipegangnya.
“Lisa, kami pergi.” Dan kutinggalkan pemakaman itu.
Aku mencoba menuliskannya dengan bahasa yang mudah untuk dipahami, supaya mereka tahu tak ada yang meneyangkan dengan gaya hidup bebas, yang mengizinkan manusia-manusia muda itu hidup dengan drugs dan free sex. Agar tak ada lagi Lisa-Lisa yang lain, yang harus menjadi korban cinta buta. Agar tak ada lagi Deva-Deva kecil yang harus hidup tanpa cinta dan belaian kasih bundanya. Dan semoga anak bangsa ini hidup dalam damai dan bahagia.

Malang, 3 nope’ 04 (20.00)
To all young Mommy, be a good Mom!



1 comment:

tinggalkan pesan dan komentar anda disini